0
Berdasarkan data yang dipublish oleh Miniwatts Marketing Groups lewat situs http://internetworldstats.com, pada akhir 2011 pengguna internet di dunia adalah sebanyak 2,26 Milyar atau 32,7 % dari total populasi manusia. Menurut laporan yang sama, di Indonesia sendiri terdapat sekitar 55 juta pengguna Internet atau setara dengan 22,4 % dari total populasi Indonesia. Dalam kurun waktu 11 tahun (2000-2011) total pengguna internet di dunia mengalami kenaikan 528% dan untuk Indonesia sendiri kenaikannya adalah 2600 %. Bagi Indonesia, kenaikan yang sangat tajam tersebut dapat dijadikan sebagai indikator keberhasilan dari berbagai upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah, swasta dan pendidikan untuk menyediakan layanan agar setiap penduduk dapat terkoneksi dengan mudah ke internet.



Namun demikian, bertambahnya pengguna internet tersebut juga menyertakan berbagai permasalahan baru yaitu bertambahnya kasus-kasus yang terkait dengan kejahatan internet / komputer. Setidaknya terdapat 15 katagori aktivitas yang saat ini digolongkan sebagai aktivitas cybercrime, antara lain adalah hacking, kejahatan kartu kredit, pencurian identitas, pornografi dan prostitusi, pencurian dana, penyebaran virus dan worm. Sadar atau tidak hampir 85% pengguna komputer dan internet pernah memiliki pengalaman buruk sebagai korban dari salah satu akvitas cybercrime. Secara umum, hampir semua proses bisnis pada organisasi / institusi modern sangat bergantung pada peralatan digital serta koneksi internet, baik itu untuk kepentingan penyimpanan, pemrosesan, pengambilan dan penyajian data-datanya. Menurut Sommer dalam (Ademu, Imafidon, & Preston, 2011), 98% dokumen pada organisasi saat ini dihasilkan lewat bantuan peralatan digital. Sementara di Amerika sendiri pada tahun 2008 diperkirakan terjadi kerugian sebesar US$ 66 Milyar akibat berbagai kasus yang disebabkan oleh kehilangan/pencurian/pemalsuan dokumen-dokumen digital. Sayangnya walaupun Indonesia telah memiliki UU No 11 / 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), namun masih sangat sedikit sekali activitas cybercrime yang kemudian ditindak lanjuti sebagai kasus hukum pidana. Salah satu kendalanya adalah sulitnya melakukan pembuktian dari aktivitas cybercrime. Untuk hal itulah maka kedepan bidang komputer / digital forensic harus lebih dikuatkan agar upaya-upaya penindakan hukum terhadap pelaku cybercrime dapat dilakukan oleh para penegak hukum. Sayangnya di Indonesia saat ini tenaga ahli yang menguasai bidang digital / komputer forensic ini masih sangat terbatas.Forensik adalah proses penggunaan pengetahuan ilmiah dalam mengumpulkan, menganalisa, dan mempresentasikan barang bukti ke pengadilan.

Forensik secara inti berhubungan dengan penyelamatan dan analisis barang bukti laten. Dalam hal ini, barang bukti laten dapat berbentuk banyak format, mulai dari sidik jari di jendela, DNA yang diperoleh dari noda darah sampai file-file di dalam hard disk komputer. Sementara itu digital / Komputer forensik adalah kombinasi disiplin ilmu hukum dan pengetahuan komputer dalam mengumpulkan dan menganalisa data dari sistem komputer, jaringan, komunikasi nirkabel, dan perangkat penyimpanan sedemikian sehingga dapat dibawa sebagai barang bukti di dalam penegakan hukum. (Rekhis, 2008) Prinsip kerja digital/komputer forensik pada dasarnya mirip dengan proses yang terjadi pada kepolisian ketika hendak mengusut bukti tindak kejahatan dengan menelusuri fakta-fakta yang ada. Hanya saja pada digital/komputer forensik proses dan kejadiannya terdapat pada dunia maya.

Selain untuk kepentingan pembuktian, penggunaan digital/komputer secara tepat juga dapat membersihkan seseorang yang tidak bersalah dari dakwaan atau sebaliknya membawa seseorang yang terbukti bersalah kehadapan hukum.Dalam hal ini terdapat empat elemen forensic yang menjadi kunci pengungkapan bukti digital, yaitu : identifikasi bukti digital, penyimpanan bukti digital, analisa bukti digital, presentasi bukti digital. Bukti digital (Digital Evidence) merupakan salahsatu perangkat vital dalam mengungkap tindak cybercrime. Dengan mendapatkan bukti-bukti yang memadai dalam sebuah tindak kejahatan, sebenarnya telah terungkap separuh kebenaran. Langkah berikutnya adalah menindak-lanjuti bukti-bukti yang ada sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Bukti Digital yang dimaksud dapat berupa adalah : E-mail, file-file dokumen kerja, spreadsheet, sourcecode dari perangkat lunak, Image, web browser, bookmark, cookies, Kalender .

Mengingat semakin banyak kasus-kasus yang terindikasi sebagai cybercrime, maka selain aspek hukum maka secara teknis juga perlu disiapkan berbagai upaya preventif terhadap penangulangan kasus cybercrime. Digital/Komputer forensik, sebagai sebuah bidang ilmu baru kiranya dapat dijadikan sebagai dukungan dari aspek ilmiah dan teknis dalam penanganan kasus-kasus cybercrime. Kedepan profesi sebagai investigator komputer forensik adalah sebuah profesi baru yang sangat dibutuhkan untuk mendukung implementasi hukum pada penanganan cybercrime. Berbagai produk hukum yang disiapkan untuk mengantisipasi aktivitas kejahatan berbantuan komputer tidak akan dapat berjalan kecuali didukung pula dengan komponen hukum yang lain. Dalam hal ini komputer forensik memiliki peran yang sangat penting sebagai bagian dari upaya penyiapan bukti-bukti digital di persidangan. Sebagai sebuah bidang ilmu, pengetahuan tentang digital / komputer forensic tidak hanya untuk kepentingan pemecahan kasus-kasus cybercrime saja namun juga sangat berguna untuk meningkatkan integritas dan ketahanan infrastruktur jaringan komputer. Kemampuan terhadap digital / komputer forensic akan menjadi elemen penting bagi upaya individu untuk membantu keamanan infrastruktur digital dan penangulangan terhadap incident response yang dihadapinya.

Posting Komentar

 
Top